Crossing the Great Silk Road to Bukhara
Esoknya saya melanjutkan perjalanan dari Khiva menuju ke Bukhara melewati padang pasir Kara-Kum yang bertanah merah. Perjalanan yang ditempuh dalam waktu sekitar delapan jam lamanya bersinggungan dengan perbatasan Turkmenistan dan kami hanya berhenti untuk makan siang di salah satu rumah penduduk dengan menu sederhana berupa nasi, roti, dan kebab panggang.
Menempuh jarak sekitar 470 kilometer terasa cukup melelahkan, apalagi di sisi kiri kanan jalan hanya terlihat padang gurun yang tandus dan kanal-kanal air buatan jaman pendudukan Soviet yang mengalir dari bendungan Tuyamuyun yang dijaga ketat. Bayangkan iring-iringan kafilah-kafilah unta jaman dulu yang membawa berbagai barang dagangan harus menembus panas dan gersangnya gurun Kara-kum yang ganas menuju Bukhara.
Karena ukurannya yang jauh lebih besar dari Khiva, Bukhara memegang peranan penting sebagai pusat perdagangan komoditi di abad pertengahan. Ini ditandai dengan banyaknya bazaar-bazaar atau pasar-pasar yang masih memperdagangkan barang-barang seperti mata uang dan logam mulia seperti pada asalnya dulu. Konon, kota tua Bukhara adalah satu-satunya kota di Asia Tengah, tempat kita dapat menemukan perpaduan bermacam kebudayaan Timur, contohnya adalah dengan adanya pemukiman yang dulu dihuni oleh bangsa Yahudi dengan sinagoge-nya yang masih ada hingga saat ini.
Berkunjung ke Kota Tua Bukhara, kami berjalan melewati lorong-lorong jalan yang sempit khas dari sebuah peradaban tua, sebelum akhirnya berakhir di daerah terbuka dengan kubah dan tembok-tembok tinggi. Kota tua ini terlihat begitu cantik saat matahari mulai redup di peraduannya, tepatnya di tempat penduduk kota berkumpul untuk mencari angin di sekeliling Lyabi Hauz, kolam besar yang dikelilingi oleh pohon-pohon Mulberi tua. Di sekitarnya tampak beberapa tea house atau kedai-kedai teh yang menjual bermacam kebab dan shaslik.
Namun Bukhara bukan hanya terkenal dengan Kota Tua-nya saja. Salah satu bangunan yang dihormati di kota ini adalah Mausoleum Ismail Samani yang dianggap berjasa memajukan kota Bukhara sebagai pemimpin dinasti Samanid yang terkenal. Bangunan yang paling mengagumkan di kota ini adalah Citadel Ark yang konon dibangun sejak tahun ke-3 Sebelum Masehi. Dan juga menara Kalon yang dibangun pada tahun 1127 setinggi 47 meter dan menjadi minaret tertinggi di Uzbekistan. Juga tak kalah uniknya adalah Chor Minor, bangunan berupa gerbang yang dihiasi dengan empat menara di atasnya.
Selain itu, Bukhara juga dikenal sebagai kota kelahiran Imam Al-Bukhari, penulis hadits yang menjadi panduan terpenting kedua setelah kita suci Al’Quran bagi umat beragama Islam dan Ibn Sina, bapak kedokteran modern. Ini menjadi tanda betapa majunya tingkat ilmu pengetahuan di kota ini di berabad-abad yang lalu. Bukhara menjadi satu-satunya kota di luar Iran yang penduduknya menggunakan bahasa Parsi sehari-hari karena masih banyak penduduknya yang mempunyai darah Persia.
Bukhara memberi kesan yang indah selama perjalanan saya di Uzbekistan. Sebuah kota yang cantik dengan penduduknya yang ramah.
The Mighty Samarkand
Sama seperti kota Roma, Athena, atau Babylon yang sudah berumur lebih dari 2500 tahun, Samarkand juga masuk sebagai salah satu kota tertua dan bersejarah di dunia. Dan, salah satu tokoh yang menjadikan Samarkand terkenal di abad pertengahan adalah Amir Temur atau Tamelane. Seperti Alexander Agung dan Jenghiz Khan, Amir Temur dikenal sebagai seorang panglima perang yang berani. Kekuasaanya melingkupi hampir seluruh Asia Tengah, Barat, dan Selatan. Karena letaknya yang strategis, Amir Temur menjadikan Samarkand sebagai ibukota kerajaannya. Di periode kejayaannya, ia mengumpulkan arsitek-arsitek kenamaan untuk membangun dan memperindah Samarkand. Sampai saat ini, keindahan kota Samarkand masih dapat dilihat oleh penduduk dan pengunjung kota ini.
Untuk menghormati tokoh paling terkenal dari Samarkand, saya berkunjung ke Gur Emir, tempat Emir Timur dan putra mahkota beserta anggota kerajaannya dimakamkan. Tampak terlihat mausoleum Emir Timur yang terbuat dari pahatan halus batu onyx berwarna hitam mengkilat. Di tempat ini pula, salah satu sepupu Nabi Muhammad SAW dimakamkan. Tempat pemakaman lain yang menarik untuk dikunjungi adalah Shakhi-Zinda yang letaknya berada di atas bukit dan terdiri dari berbagai mausoleum yang bangunannya masih tertata dengan rapih bak sebuah kota kecil di atas bukit.
Ke Samarkand Anda harus mengunjungi kompleks tiga madrasah bernama Registan. Tempat ini menjadi tempat berdirinya bangunan berarsitektur terindah di seluruh penjuru Asia Tengah. Madrasah Ulug Bek, Shir-Dor, dan Tilya-Kari berdiri saling menghadap ke sebuah lapangan terbuka tempat berkumpulnya penduduk Samarkand untuk berdagang. Menara dan façade madrasah yang berdiri tegak terlihat begitu indahnya dengan susunan detil keramik yang membentuk pola yang cantik. Mungkin Regista menjadi tempat terindah di seluruh Uzbekistan.
Tak jauh dari The Registan terletak Masjid Bibi Khanum yang dari kejauhan seakan berdiri tinggi di atas kota Sammarkand bak sebuah siluet dengan kubah berwarna birunya yang tegak menengadah ke langit. Di masanya, masjid ini adalah masjid dengan kubah terbesar. Masjid yang dibangun dengan bahan dasar batu pualam putih yang indah ini didirikan dengan biaya besar pada tahun 1399 oleh Emir Timur untuk menghormati istri kesayangannya.
Tidak lengkap rasanya mengunjungi Samarkand tanpa berkunjung ke Siyob, pasar atau bazaar terbesar di kota ini. Siyob sebetulnya adalah pasar buah, sayuran dan rempah-rempah yang menjadi pusat perdagangan penduduk lokal dan banyak dikunjungi oleh turis-turis asing karena keunikannya. Jika Anda suka akan kismis, di sinilah tempatnya! Anda dapat menemukan berbagai macam jenis kismis yang saya sendiri tidak pernah tahu sebelumnya!
Roti Samarkand menjadi salah satu komoditas yang paling dikenal di kota ini. Bentuknya yang bundar, berat, dan keras karena terbuat dari campuran gandum dan tepung jagung, sudah dikenal orang sejak peradaban di Jalur Sutera dahulu kala dan menjadi keharusan bagi kafilah-kafilah karavan untuk membawanya sebagai bekal perjalanan mengarungi padang gurun.
Teks & Foto: Iman Hidajat