ONE SUMMER DAY IN UZBEKISTAN

Kekayaan sejarah masa lalunya menjadikan negara ini bak mutiara yang bersinar terang. Letaknya yang strategis menjadikannya tempat jalur perdangangan yang sibuk. Bahkan Alexander Agung pun pernah menguasai daerah ini dan Marco Polo, konon, pernah melintasi Jalan Sutera yang melewati sebagian besar wilayah Uzbekistan dalam perjalanannya ke Cina. Dengan segala pesonanya, Uzbekistan menjadi sebuah daerah tujuan yang memberikan pengalaman tak terlupakan.

Uzbekistan. Undangan untuk mengunjungi negara yang penuh dengan warna ini saya terima tanpa berpikir dua kali. Kapan lagi dapat mengunjungi kota-kota yang dilewati oleh The Great Silk Road, salah satu jalur perdagangan tersibuk sejak jaman Sebelum Masehi yang secara tidak langsung ikut menyebarkan kebudayaan dunia dari Timur ke Barat dan sebaliknya?

Ketika pesawat Uzbekistan Airways 552 yang menerbangkan saya selama delapan jam dari Kuala Lumpur mendarat di Tashkent International Airport, maka dimulailah kunjungan perjalanan saya di negara yang kaya akan sejarah ini.

Xush Kelibzis! Selamat datang di Uzbekistan!

Ibukota Tashkent merupakan persinggahan pertama saya di Uzbekistan sebelum menjelajah kota-kota penting lainnya di bagian barat negara ini. Tashkent sendiri merupakan salah satu kota bersejarah yang kalau dihitung dari sejak berdirinya sudah lebih dari 20 abad usianya. Tidak seperti kota-kota di Asia Tengah lainnya, Tashkent kaya akan monumen-monumen arkeologi. Bayangkan sepuluh tahun yang lalu hanya ditemukan 39 situs arkeologi, tapi sekarang ini ditemukan lebih dari 200 monumen arkeologi yang tersebar di penjuru kota yang dulunya pernah menjadi tempat perpotongan jalur Jalan Sutera ke Almaty di Kazakhstan atau menuju Kashgar di Cina.
Sebagai kota terbesar di Uzbekistan dan juga Asia Tengah, sedikit banyak, kehidupan dan arsitektur Ibukota Tashkent dipengaruhi oleh periode bekas pendudukan Uni Soviet. Bangunan-bangunannya mengikuti arsitektur retro avant garde gaya Soviet di sepanjang jalan yang lebar berhias dengan monumen-monumen khas negara penganut sosialisme. 

Di musim panas, kota ini tampak bersih dan indah dengan deretan pohon-pohon maple yang rindang di sepanjang jalannya. Penduduknya terlihat modis apalagi karakter wajah wanitanya yang terkenal dengan parasnya yang cantik. Bagaimana tidak? Perpaduan ras Arab, Asia, dan Kaukasia yang telah berabad-abad berlalu lalang di negara ini, menjadikan rakyat Uzbekistan berparas unik dan berpostur nyaris sempurna.

Chasing Wind in Khiva

Hampir satu jam setengah lamanya pesawat Uzbekistan Airways terbang melewati gurun Kyzylkum yang luas sebelum akhirnya mendarat di sebuah bandar udara sederhana di kota Urgench. Dari kota ini, Khiva sebuah kota dengan berbagai peninggalan bersejarah yang menjadi tempat tujuan saya hanya berjarak sekitar tiga puluh menit saja melewati kebun-kebun buah melon dan semangka di sisi kiri kanan jalannya.

Saya beruntung karena mendapat tempat penginapan yang letaknya tepat di seberang Ichan-Kala, sebuah kota yang dikelilingi benteng kokoh tempat kesultanan kecil Khiva Khanate pernah berkuasa. Ichan-Kala sendiri berarti ‘sumur tua dengan air yang manis’ dan telah dikenal sejak 2500 tahun yang lalu. Dilewati oleh Jalur Sutera yang ramai, Khiva dan Ichan-Kala-nya sempat menjadi poros penting persinggahan bagi para kafilah dan pedagang yang akan melanjutkan perjalanan mereka ke Persia di selatan atau terus ke Cina melewati Bukhara dan Sammarkand ke arah timur.

Pemandangan Icha-Kala sendiri dihiasi oleh kubah-kubah mesjid dan bangunan-bangunan madrasah serta menara-menara yang indah seperti menara Khodja yang menjulang setinggi 45 meter berhias susunan keramik berwarna biru dan putih yang dapat dilihat dari setiap sudut kota. Selain itu, tidak jauh dari pintu gerbang barat atau Oto-darvoza yang megah, berdiri menara Kalta-Minor yang begitu indahnya dengan susunan keramik porselennya yang berwarna putih, biru dan hijau.

Berjalan di sepanjang jalan kota Ichan-Kala yang didominasi oleh bangunan-bangunan berwarna coklat kusam, saya membayangkan betapa ramainya kota ini berabad-abad lalu. Saya melewati bazaar terbuka di bawah terika sinar matahari yang dapat mencapai suhu 40 derajat panasnya dan juga kedai-kedai teh di bawah rindang suluh-suluh batang pohon merambat, di luar, orang ramai berlalu lalang berbicara dengan bahasa asing.

Ichan-Kala kaya akan bangunan-bangunan madrasahnya yang indah berlapis susunan potongan-potongan keramik yang berwarna putih, biru, dan hijau yang ditata rapih dan sempurna. Salah satu madrasah yang terindah adalah Madrasah Mukhammad Amin-khan dengan pintu-pintu kayunya yang diukir dengan indah dan masih terawat hingga sekarang. Saya terpana saat memasuki Masjid Juma yang dibangun tanpa kubah namun langit-langitnya ditopang oleh 213 tiang kayu yang penuh dengan ukiran ayat-ayat suci. Arsitektur bangunan kota yang telah menjadi World Heritage Site ini pun penuh dengan keindahan – Mausoleum Pakhlavan Makhmud, seorang pujangga, filsuf, dan juga pahlawan yang setelah meninggal dianggap sebagai orang suci pelindung kota Khiva dan juga Istana Tash-Hauli tempat tinggal para istri dan harem dari Sang Emir.

Saat malam tiba, Ichan-Kala ramai dengan masyarakat di sekitarnya yang seakan menghidupkan kembali kejayaan kota ini dari jaman dulu dipercantik dengan pendaran cahaya bulan dan bintang yang menerangi kubah-kubah mesjid dan minaret. Berjalan sepanjang jalan di Ichan-Kala bagai berjalan menembus sebuah kota dongeng seribu satu malam.



Yuktravel ingin mengirimkan notifikasi promo menarik langsung ke perangkat Anda.

Lain kali  
WhatsApp