KYOTO KOTA TUA YANG MENAWARKAN PENGALAMAN SPIRITUAL

Pemandu tour kami berkata, “Jika Anda ingin mengunjungi seluruh kuil yang ada di Kyoto, mungkin dibutuhkan waktu 2 tahun.” Apakah pendapat ini berlebihan? Rasanya tidak, setelah saya tahu bahwa kota ini tak cukup hanya disebut ‘kota seribu kuil’ karena jumlah kuilnya ternyata mencapai 2.000 buah…
Saya memasuki kota Kyoto setelah menempuh perjalanan dengan kereta shinkansen Nozomi selama 2 jam 15 menit dari Tokyo. Memasuki kota Kyoto, kita akan merasakan perbedaan yang cukup signifikan, khususnya jika dibandingkan dengan Tokyo. Mantan ibukota Jepang pada masa Edo ini masih menyimpan banyak memori Jepang masa lampau. Dari segi arsitektur maupun gaya hidup masyarakatnya, Kyoto seolah lebih membumi ketimbang Tokyo yang sudah jadi salah satu kota termodern di dunia. Bangunan pencakar langit di Kyoto tak sebanyak di Tokyo. Sebagai gantinya, Kyoto memiliki sangat banyak kuil kuno. Jumlahnya bukan hanya ratusan, tapi terdaftar ada sekitar 2.000 kuil (Buddha dan Shinto),  dan juga banyak istana, jembatan serta taman. Semuanya terpelihara dengan baik dan banyak yang sudah menjadi bagian dari UNESCO World Heritage.

Hari Pertama
Selain arsitekturnya, banyak aspek tradisi masa lampau yang menjadi daya tarik kota ini. Seperti misalnya dari cara berpakaian. Di jalanan kita masih bisa menemukan para wanita yang menggunakan kimono, lengkap dengan aksesoris tradisionalnya. Atau juga berbagai toko yang menjual makanan atau pernak-pernik tradisional.


Sebelum menyusuri berbagai kuil, saya mendapat ksempatan untuk singgah di sebuah toko pembuat kue manis tradisional Jepang, Tsuruya Yoshinobu, di area Kamigyo, Kyoto. Kue manis ini disebut wagashi, dan biasa menjadi teman minum teh masyarakat Jepang. Dan Tsuruya Yoshinobu telah berdiri sejak 200 tahun lalu. Di tempat ini kami mendapat kesempatan melihat dokumentasi tentang sejarah kue manis tradisional Jepang dan berbagai jenisnya. Wagashi sudah menjadi bagian dari tradisi upacara minum teh di Jepang, diperlakukan layaknya karya seni, dan dibuat dengan berbagai bentuk dan varian yang menarik. Sebagai penutup, kami juga sempat merasakan teh tradisional Jepang, lengkap dengan beragam jenis wagashi. Rasa penganan yang manis itu sangat pas menjadi teman matcha yang pahit dan kental.

                                    

Kuil pertama yang kita kunjungi di Kyoto adalah Ryoanji Temple, yang merupakan salah satu landmark kota ini. Kuil aliran Zen ini dibangun pada tahun 1450 oleh Katsumoto Hosokawa, wakil dari Shogun Ashikaga. Bagian paling menarik dari kuil ini adalah The Rock Garden, yang tak seperti taman pada umumnya, disini sama sekali tak ditanami pohon atau rumput. Hanya ada hamparan pasir, kerikil putih dan belasan batu. Taman seperti ini disebut karesansui (dry landscape yang merupakan pengaruh ajaran Zen). Menghadap ke taman berukuran 10x30 m ini tersedia beberapa terap tangga kayu dimana pengunjung bisa duduk, menenangkan iri sambil menatap taman batu ini. Dipercaya, jika kita bisa menenangkan diri, barulah kita akan bisa menemukan batu ke-15 yang ada di taman ini. Biasanya, pengunjung hanya bisa melihat maksimal 14 batu, karena memang letak batu-batu ini dibuat sedemikian rupa, sehingga dari kebanyakan arah, hanya nampak 14 buah saja. Konon, saking terkenalnya taman ini di Eropa, pada saat Ratu Elizabeth II berkunjung ke Jepang di tahun 1975, beliau menyempatkan diri untuk melihat langsung taman ini.

Hal lain yang menarik di kuil ini adalah lukisan kuno di dinding geser dalam kuil. Lukisan hitam putih yang menggambarkan 2 ekor naga ini (satu sedang terbang ke atas, yang lainnya menukik ke bawah) dibuat oleh pelukis Kakuo Satsuki selama 5 tahun pengerjaan. Selain itu kita juga bisa melihat kursi dan perlengkapan Kaisar, serta beberapa altar Buddha yang dipertahankan sesuai kondisi aslinya di bagian dalam kuil. Pada bagian lain dari kuil ini juga terdapat ruang khusus minum teh Zoroku, sebuah tempat untuk membasuh tangan yag terbuat dari batu berbentuk uang koin, dan disebut Tsukubai. Serta kolam Kyoyochi, dimana dulunya banyak terdapat bebek mandarin berenang di dalamnya. Sehingga kala itu kuil ini juga dikenal dengan sebutan Oshidoridera (temple of mandarin ducks).


Kuil kedua yang saya kunjungi adalah Kinkakuji Temple, yang biasa juga disebut Rokuonji Temple. Dulunya area ini adalah vila peristirahatan milik salah satu pejabat, yang pada tahun 1397 dibeli oleh Shogun Ashikaga Yoshimitsu, dan lalu diubah menjadi komplek Kinkakuji seperti sekarang. Konon Yoshimitsu membuat kuil berbentuk Paviliun Emas ini untuk menyaingi kemegahan Jinge Golden Pavilion Temple yang dibuat Kaisar China. Sesuai namanya, kuil yang dikelilingi kolam indah ini memiliki bagian yang dilapisi emas murni, yaitu pada tingkat kedua dan ketiganya. Dulu, paviliun ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan relik Buddha. Sayangnya, seluruh bangunan asli di lokasi ini pernah terbakar pada tahun 1950. Dan paviliun ini direkonstruksi kembali sesuai aslinya pada tahun 1955. Rekonstruksi baru usai pada tahun 2003 lalu, ditandai dengan perbaikan atapnya, dimana pada puncaknya terdapat patung emas berwujud burung phoenix.
Fakta unik terkait kuil ini adalah adanya kuil lain di Kyoto yang dibuat berdasarkan konsep Kinkakuji. Kuil itu disebut Ginkakuji (Silver Pavilion Temple), dan dibangun oleh cucu dari Shogun Yoshimitsu, Ashikaga Yoshimasa, dengan menggunakan gaya dan bahkan pekerja bangunan dari Kinkakuji. Bedanya, Ginkakuji tak disepuh dengan perak (meski ide itu awalnya sempat muncul). Sayangnya, saya sendiri tak sempat mengunjungi kuil Ginkakuji yang terletak di Kyoto bagian Timur.


Menjelang sore, rombongan kami bergerak ke kawasan Arashiyama. Kawasan ini sebenarnya terkenal akan Iwatayama Monkey Park yang terletak di lereng gunung Arashiyama, dan jembatan Togetsukyo yang dianggap punya daya romantik. Uniknya, jembatan ini ‘memisahkan’ sungai yang melintas di bawahnya menjadi 2 nama: sungai Hozu di bagian Barat jembatan dan sungai Katsura di bagian Timurnya. Sayang, kami hanya sempat melihat jembatan ini dari jauh dalam perjalanan menuju sebuah museum unik milik Nintendo, yang bernama Shigureden. Museum ini baru dibuka pada 2006 lalu, dan di dalamnya ada berbagai game canggih buatan Nintendo, yang sebagian besar terkait dengan kebudayaan tradisional Jepang. Atraksi utamanya adalah sebuah ruangan seluas 350 m2 dimana terdapat 70 monitor LCD 45" yang diletakkan di lantai, membentuk sebuah layar persegi raksasa. Kita bisa berdiri di atas ‘lantai’ LCD ini dan bermain seolah menyusuri peta kota Kyoto. Kita bisa mencari bagian-bagian kota Kyoto yang ingin kita lihat, dan mencari tahu apa saja yang ada di venue tersebut. Ini sebuah permainan yang sangat menarik dan memukau, apalagi jika dilakukan oleh puluhan orang sekaligus!

Selain itu, ada juga berbagai arcade berisi permainan game yang berbeda. Salah satunya adalah Ogura Hundred Poems, yang mengangkat 100 puisi ternama dalam kesusastraan kuno Jepang dan dibuat layaknya permainan uta-garuta (permainan kartu tradisional Jepang) dalam media canggih. Jika Anda seorang penggemar game Jepang, saya rekomendasikan untuk mencoba datang ke sini dan menikmati salah satu sisi modern kota Kyoto.

Hari Kedua
Keesokan harinya, kami melanjutkan penjelajahan kami ke 3 kuil lainnya. Yang pertama adalah ke sebuah kuil Shinto bernama Imakumano. Di sini kita mendapat penjelasan mengenai aliran kepercayaan Shinto, termasuk sejarah torii (gerbang kuil Shinto, yang biasanya terbuat dari kayu atau batu), dan hubungan antara Shinto dan Buddha. Dijelaskan bahwa kini banyak kuil yang mencampur tradisi Buddha dengan Shinto, dan masyarakat Jepang sendiri nampaknya tak mau repot membedakan kedua aliran ini. Setelah itu, kami juga berkesempatan untuk belajar membuat lampion khas Jepang. Ternyata tak mudah juga membuat lukisan atau tulisan di atas kertas lampion. Namun hasilnya bisa kita bawa pulang dan jadi suatu kenang-kenangan yang unik.

Selanjutnya kita mengunjungi Sanju-sangendo Temple. Ini adalah kuil Buddha yang sangat terkenal, karena memiliki hall dengan bentang terbesar (120 m) yang disangga 34 kolom. Di dalamnya kita bisa melihat 1.001 buah patung kayu Buddha. Saking banyaknya, ada kepercayaan bahwa jika kita memperhatikan setiap wajah pada patung Buddha ini, kita akan bisa menemukan sebuah yang menyerupai wajah kita! Hal lain yang bisa kita lihat di kuil ini adalah patung 28 dewa penjaga, dan diantaranya terdapat dewa Fujin dan Raijin, yang sangat tersohor dalam kebudayaan Jepang.

Pada masa Edo dulu, kuil ini menjadi tempat dilangsungkannya turnamen memanah. Sehingga di salah satu bagian sisi bangunan, kita bisa melihat bekas-bekas lubang panah di dinding dan balok kayunya. Juga disebutkan bahwa dulu, kuil inilah yang menjadi tempat pertempuran antara Miyamoto Musashi dan Yoshioka Denshichiro pada tahun 1604.


Setelah mencicipi makan siang vegetarian di Chishakuin-kaikan – sebuah kuil yang menyediakan kesempatan bagi mereka yang ingin merasakan hidup seperti layaknya seorang pendeta Shinto – kami pun meluncur ke area Higashiyama dimana terdapat salah satu kuil terbesar di Kyoto, Kiyomizu-dera Temple. Kuil ini terletak di lereng gunung, bagian Timur Kyoto. Untuk mencapainya, dari tempat parkir bus, kita harus menyusuri jalan yang mendaki. Di sepanjang jalan itu terdapat rangkaian toko souvenir. Namun sebaiknya Anda menahan diri, dan tidak segera berbelanja. Karena saat kembali dari kuil nanti, Anda akan punya banyak kesempatan untuk memborong beragam souvenir yang ditawarkan.

Kuil Kiyomizu-dera didirikan pada tahun 798, dan direkonstruksi pada tahun 1633. Bagian yang paling menarik dari kuil ini adalah balkonnya yag terbuka menghadap ke Kyoto. Dari sini kita bisa melihat keindahan kota Kyoto tanpa terhalang bangunan. Sejak dulu, ini jadi bagian paling banyak dikunjungi. Namun tujuannya agak berbeda. Dulu, orang percaya bahwa jika seseorang berani melompat dari balkon ini (setinggi 13 m), dan ternyata ia selamat (di depannya terdapat hutan pohon pinus besar) karena tertahan ranting pohon, maka doanya akan terkabul. Tercatat ada 234 kali peristiwa loncatan, dan 85% selamat! Namun kini aksi itu dilarang dan pelanggarnya bisa dijerat hukum.

Di area ini juga masih ada beberapa kuil kecil menarik. Salah satunya adalah Jishu Shrine, yang dipercaya bisa ‘memberimu’ jodoh. Maka sepanjang tahun banyak pasangan yang meneguhkan cinta mereka di sini, atau para lajang yang memohon jodoh. Di kuil ini ada sepasang batu yang disebut Love Stones. Dipercaya jika Anda bisa berjalan dari satu batu dengan mata tertutup, dan berhasil mencapai batu lainya yang terpisah sekitar 6 m, maka Anda akan segera menemukan jodoh sejati Anda.


    

Spot lain yang menarik adalah air terjun Otowa, yang terbagi menjadi 3 jalur air. Masing-masing dipercaya bisa mendatangkan: kebijaksanaan, kesehatan dan umur panjang. Namun hati-hati, Anda tak boleh kemaruk dan meminum dari keseluruhan 3 jalur air ini, karena alih-alih berkat, Anda akan ditimpa kesialan! Jika Anda ingin berbagi berkat dengan orang yang Anda kasihi, Anda bisa membawa pulang air terjun Otowa, dengan membelinya di gerai yang ada di dekat situ. Lalu, sempatkan pula untuk melihat berbagai omamori (goodluck charm) yang dijual di kuil ini. Variannya sangat lengkap, dan ‘khasiat’-nya pun beragam. Lepas dari percaya atau tidak, karena bentuk dan warnanya yang memikat, omamori memang layak dijadikan souvenir khas Kiyomizu-dera. Nah, saat berjalan kembali, silakan melihat semua toko souvenir yang ada di sepanjang jalan menurun. Ada puluhan toko dan semua memajang berbagai souvenir yang menarik, dari harga yang murah hingga yang mahal.


Yuktravel ingin mengirimkan notifikasi promo menarik langsung ke perangkat Anda.

Lain kali