Tidak terasa sedikit lagi musim liburan tiba, saatnya untuk menyiapkan diri akan kemana liburan tahun ini. Ambon bisa jadi pilihan yang tepat. Bayangkan saja teriknya matahari di musim panas dipadukan dengan segarnya air laut, seperti yang saya alami berikut ini.
Hari pertama di negeri manise ini, saya langsung dihadapkan dengan pemandangan cantik Teluk Ambon yang menghampar biru, dengan jalan raya yang bersih dan hijau dengan tanaman alami. Perjalanan hanya memakan waktu 45 menit saja dari bandara yang berada di area Laha ke kota Ambon.
Destinasi pertama saya hari ini adalah Desa Toisapu yang berada di negeri Hutumuri, Leitimur Selatan. Di sini, pantainya sangat landai, khususnya di siang hari. Air laut biru yang jernih ini terasa dingin, meski saat itu cuaca sedang panas terang. Airnya tidak terlalu asin, karena di salah satu sisi pantai terdapat sungai yang mengalirkan air tawar, jadi tak heran jika air di pantai ini tidak seasin air laut biasanya. Dari sini, saya “berlayar” menggunakan kapal nelayan menyusuri tepian peninsula hingga tiba di Pantai Lawena. Tiba di pantai Lawena dan kembali lagi saya nyemplung ke air. Meski berada di laut yang sama, namun di pantai ini, airnya terasa berbeda, di sini lebih asin rasanya, hal ini tentunya karena tingkat garamnya yang tinggi, hal ini juga yang menyebabkan saya lebih mudah berenang atau mengambang. Anda bisa melakukannya juga loh.

Enjoy the Underwater Panoramic
Kalo sudah sampai Ambon, tidak snorkeling atau diving seperti rugi, karena panorama bawah laut di perairan Ambon sangat cantik. Kota Laha terkenal dengan bandara udara Pattimura, dan tak jauh dari situ, terdapat operator selam Blue Rose Diver. Dalam satu boat ini terdiri dari 6 peserta, 2 crew, dan 2 instruktur. Kami melaju kencang, boat bermotor 2x100HP ini membawa kami dari Laha menuju desa Latuhalat, hanya hitungan 15 menit kami tiba di titik pertama, Hukurila. Titik penyelaman pertama ini terbilang sebagai titik penyelaman terfavorit di Ambon. Memiliki gua yang eksotik dengan banyak pintu, tumpukkan batu besar, sea fans (Gorgonacea), sponge, serta berbagai terumbu karang yang sehat, ditambah berbagai jenis ikan melintas bebas. Setelah semua penyelam muncul di permukaan, kami pun beristirahat di tepi pantai Santai. Sesuai dengan namanya, pantai ini memang menyediakan banyak tempat duduk yang dibuat dari semen dengan tujuan wisatawan maupun warga setempat bisa menikmati pemadangan cantik pantai Latuhalat dengan santai. Titik selanjutnya adalah Pintu Kota, di sini banyak terdapat tebing-tebing pantai. Di sebut Pintu Kota karena ada sebuah landmark berbentuk gua terowongan menyerupai tebing-tebing pinggir pantai. Topografi site di Pintu Kota ini berbentuk sebuah terowongan yang menghubungkan antara sisi luar dengan sebuah jurang dalam di ujungnya. Jika Anda beruntung, Akan melihat segerombolan ikan lumba-lumba berenang bebas di sini!
Ambon by Night
Malam hari, setelah beristirahat cukup saya mencoba untuk berkeliling kota Ambon di malam hari. Suasana kota Ambon memang tidak seramai kota besar di pulau Jawa, namun ada beberapa titik keramaian, seperti di Jalan Dipenogoro beberapa kafe buka hingga tengah malam. Saya dan beberapa orang sudara memilih untuk mengunjungi Panorama Cafe yang berada di ketinggian, tepatnya di Jalan CM Tiahahu. Menurut saya kafe yang satu ini memiliki nama yang tepat, sejauh mata memandang, Anda akan melihat cantiknya kota Ambon di malam hari dengan gemerlapnya lampu-lampu, apalagi saat saya berada di sini dalam masa liburan Natal. Gemerlap lampu dari pohon Natal menambah meriahnya suasana. Untuk urusan makanan, Panorama Cafe memiliki banyak pilihan, kami memilih serba laut, mulai dari ikan bakar, ikan goreng, cumi, udang, dan tentunya ditambah sayur tumis Kangkung - Bunga Pepaya, semuanya tambah nikmat dengan cocolan sambal kecap yang dikucuri jeruk lemon cina / lemon cui yang wangi dan masam, yang biasanya disebut Colo-colo. Sebagai penemannya saya memilih Jus Gandarai. Mengkin untuk banyak orang, gandaria terdengar aneh karena rasanya yang asam, namun berbeda dengan gandaria dari Ambon. Ukurannya yang besar, rasanya yang manis, dan warnanya yang kuning, serta harumnya yang membuat ngiler. Malam ini saya tutup dengan berkeliling di area ini sambil menikmati pemandangan patung Martha Christina Tiahahu yang adalah pahlawan nasional dari pulau ini.
Moluccan Moray Eel
Di Ambon Moluccan Moray Eel atau lebih dikenal dengan nama Morea dalam bahasa setempat, bisa dilihat di dua tempat, di daerah Wai dan di Larike. Saya memilih untuk melihat morea di Larike. Perjalanan terasa sangat jauh, dengan waktu tempuh 2 jam, dan jalanan yang menanjak dan berkelok, ditambah lagi dengan badan jalan yang sedikit renjul. Semua ‘perjuangan’ menuju Larike terbayarkan ketika kami tiba di Tanjung Alang. Sesuai namanya, desa ini menjorok keluar ke arah laut, dari bukit tinggi saya bisa menikmati pemandangan nan cantik, biru, berawan putih tanpa polusi. Hanya hitungan beberapa kilometer ke arah kanan, terlihat mesjid besar megah berdiri di tepi pantai. Sejurus mesjid itu terdapat batu karang menjulang tinggi terpisah dari daratan yang saya pijak. Sungguh sangat cantik! Dalam hitungan beberpa menit saja, tibalah kami di Desa Larike. Desa ini terkenal dengan morea atau belut. Jenis belut yang ada di sini adalah Gymnothorax Moluccensis, atau Moluccan Moray Eel. Belut ini memang berukuran cukup besar, dengan panjang sekitar 1m atau lebih, dan berat sekitar 20kg. Tidak susah untuk mencapai sungai habitat morea ini. Seorang pawang mengantar kami, ia membawa beberapa ekor ikan segar untuk memancing belut –belut ini keluar dari sarangnya. Dan benar saja, puluhan belut gemuk menghampiri keranjang ikan yang dibawa sang pawang. Senang bercampur geli dan takut melihat belut-belut tersebut menikmati ‘hidangan’ segar mereka. Begitulah sepenggal cerita pengalaman berlibur ke Ambon, yuk kita ke Ambon!
Foto Utama: Charles Tenlima
Pantai Toisapu & Pintu Kota: Nancy Tenlima

Enjoy the Underwater Panoramic
Kalo sudah sampai Ambon, tidak snorkeling atau diving seperti rugi, karena panorama bawah laut di perairan Ambon sangat cantik. Kota Laha terkenal dengan bandara udara Pattimura, dan tak jauh dari situ, terdapat operator selam Blue Rose Diver. Dalam satu boat ini terdiri dari 6 peserta, 2 crew, dan 2 instruktur. Kami melaju kencang, boat bermotor 2x100HP ini membawa kami dari Laha menuju desa Latuhalat, hanya hitungan 15 menit kami tiba di titik pertama, Hukurila. Titik penyelaman pertama ini terbilang sebagai titik penyelaman terfavorit di Ambon. Memiliki gua yang eksotik dengan banyak pintu, tumpukkan batu besar, sea fans (Gorgonacea), sponge, serta berbagai terumbu karang yang sehat, ditambah berbagai jenis ikan melintas bebas. Setelah semua penyelam muncul di permukaan, kami pun beristirahat di tepi pantai Santai. Sesuai dengan namanya, pantai ini memang menyediakan banyak tempat duduk yang dibuat dari semen dengan tujuan wisatawan maupun warga setempat bisa menikmati pemadangan cantik pantai Latuhalat dengan santai. Titik selanjutnya adalah Pintu Kota, di sini banyak terdapat tebing-tebing pantai. Di sebut Pintu Kota karena ada sebuah landmark berbentuk gua terowongan menyerupai tebing-tebing pinggir pantai. Topografi site di Pintu Kota ini berbentuk sebuah terowongan yang menghubungkan antara sisi luar dengan sebuah jurang dalam di ujungnya. Jika Anda beruntung, Akan melihat segerombolan ikan lumba-lumba berenang bebas di sini!
Malam hari, setelah beristirahat cukup saya mencoba untuk berkeliling kota Ambon di malam hari. Suasana kota Ambon memang tidak seramai kota besar di pulau Jawa, namun ada beberapa titik keramaian, seperti di Jalan Dipenogoro beberapa kafe buka hingga tengah malam. Saya dan beberapa orang sudara memilih untuk mengunjungi Panorama Cafe yang berada di ketinggian, tepatnya di Jalan CM Tiahahu. Menurut saya kafe yang satu ini memiliki nama yang tepat, sejauh mata memandang, Anda akan melihat cantiknya kota Ambon di malam hari dengan gemerlapnya lampu-lampu, apalagi saat saya berada di sini dalam masa liburan Natal. Gemerlap lampu dari pohon Natal menambah meriahnya suasana. Untuk urusan makanan, Panorama Cafe memiliki banyak pilihan, kami memilih serba laut, mulai dari ikan bakar, ikan goreng, cumi, udang, dan tentunya ditambah sayur tumis Kangkung - Bunga Pepaya, semuanya tambah nikmat dengan cocolan sambal kecap yang dikucuri jeruk lemon cina / lemon cui yang wangi dan masam, yang biasanya disebut Colo-colo. Sebagai penemannya saya memilih Jus Gandarai. Mengkin untuk banyak orang, gandaria terdengar aneh karena rasanya yang asam, namun berbeda dengan gandaria dari Ambon. Ukurannya yang besar, rasanya yang manis, dan warnanya yang kuning, serta harumnya yang membuat ngiler. Malam ini saya tutup dengan berkeliling di area ini sambil menikmati pemandangan patung Martha Christina Tiahahu yang adalah pahlawan nasional dari pulau ini.
Moluccan Moray Eel
Di Ambon Moluccan Moray Eel atau lebih dikenal dengan nama Morea dalam bahasa setempat, bisa dilihat di dua tempat, di daerah Wai dan di Larike. Saya memilih untuk melihat morea di Larike. Perjalanan terasa sangat jauh, dengan waktu tempuh 2 jam, dan jalanan yang menanjak dan berkelok, ditambah lagi dengan badan jalan yang sedikit renjul. Semua ‘perjuangan’ menuju Larike terbayarkan ketika kami tiba di Tanjung Alang. Sesuai namanya, desa ini menjorok keluar ke arah laut, dari bukit tinggi saya bisa menikmati pemandangan nan cantik, biru, berawan putih tanpa polusi. Hanya hitungan beberapa kilometer ke arah kanan, terlihat mesjid besar megah berdiri di tepi pantai. Sejurus mesjid itu terdapat batu karang menjulang tinggi terpisah dari daratan yang saya pijak. Sungguh sangat cantik! Dalam hitungan beberpa menit saja, tibalah kami di Desa Larike. Desa ini terkenal dengan morea atau belut. Jenis belut yang ada di sini adalah Gymnothorax Moluccensis, atau Moluccan Moray Eel. Belut ini memang berukuran cukup besar, dengan panjang sekitar 1m atau lebih, dan berat sekitar 20kg. Tidak susah untuk mencapai sungai habitat morea ini. Seorang pawang mengantar kami, ia membawa beberapa ekor ikan segar untuk memancing belut –belut ini keluar dari sarangnya. Dan benar saja, puluhan belut gemuk menghampiri keranjang ikan yang dibawa sang pawang. Senang bercampur geli dan takut melihat belut-belut tersebut menikmati ‘hidangan’ segar mereka. Begitulah sepenggal cerita pengalaman berlibur ke Ambon, yuk kita ke Ambon!
Foto Utama: Charles Tenlima
Pantai Toisapu & Pintu Kota: Nancy Tenlima